Rabu, 02 Mei 2012

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT


Berdasarkan undang—undang yang ada dan pembuktian lainnya dalam beberapa hukum negara bahwa praktik monopoli tersebut harus dibuktikan adanya unsur—unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat berdasarkan Undang—undang Nomor 5 Tahun 1999.



Asas Tujuan 



Dengan melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonom i dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum. Seperti yang diatur dalam undang—undang sebagai berikut :



1. Menjaga kepentingan umum dan menjaga efisiensi ekonomi nasional,
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan yang sehat, sehingga menjamin adanya kesempatan berusaha yang sama.


3. Mencegah praktik monopoli dan persaingan tidak sehat,
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.



Kegiatan yang dilarang dalam praktik bisnis adalah monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, persekongkolan, dominan, jabatasn rangkap, pemilikan saham mayoritas dalam perusahaan sejenis dan persaingan tidak sehat.



1. Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu sekurang—kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok, sehingga harganya dapat dikendalikan.



2. Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang , yang dikuasai oleh seorang pembeli, oligopsoni yang terbatas terhadap seorang pembeli.



3. Prnguasaan pasar adalah proses, cara atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri ataupun bersama—sama pelaku usaha lainnya.



4. Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan sesuatu kejahatan atau kecurangan. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang dalam undang—undang no 5 tahun 1999.



5. Posisi Dominan artinya pengaruhnya sangat kuat yang merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam pasar yang digelutinya.



6. Jabatan Rangkap adalah seseorang yang menduduki jabatan direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamnaan dalam suatu perusahaan.



7. Pemilikan saham adalah pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis , melakukan kegiatan yang sama dalam mendirikan perusahaan.



8. Penggabungan, Peleburan, dan Pengambil alihan adalah mengarahkan pelaku usaha yang berbadan hukum ataupun tidak untuk menjalankan usahanya secara terus menerus dan tetap dengan tujuan mencari keuntungan.



Perjanjian yang Dilarang



Dalam bisnis telah ditentukan pelarangan para pelaku usaha, antara lain oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, dan perjanjian dengan pihak luar negeri.



Komisi Pengawas Persaingan Usaha



Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli atau persaingan secara tidak sehat.



Sanksi 



Ketentuan pemberian sanksi terhadap pelanggaran bagi pelaku usaha yang melanggar undang—undang ini dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok , antara lain sanksi administratif yaitu sanksi dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, atau pemberhentian tindakan produksi yang melanggar konsumen dan sanksi pidana pokok dan tambahan yaitu sanksi yang dierikan denda antara lain adalah pencabutan izin usaha, penghentian kegiatan usaha, larangan bagi terdakwa untuk menduduki jabatan tertentu.

PENGERTIAN HAKI

            Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil).

            Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan Dan sebaginya Yang tidak mempunyai bentuk tertentu.

HAKI MEMILIKI DASAR HOKUM YANG TERDAPAT DALAM UNDANG UNDANG

·Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
·Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
·Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
·Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
·Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
·Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
·Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
·Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
 
Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua kategori yaitu:

  1. Hak Cipta.
  2. Hak Kekayaan Industri, meliputi:
v  Paten
v  Merek
v  Desain Industri
v  Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
v  Rahasia Dagang, dan
v  Indikasi

PENGERTIAN HAK CIPTA

        ·    Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Termasuk ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.

· Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :

            Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 1 ayat 1).
   Sifat Hukum HKI
            Hukum yang mengatur HKI bersifat teritorial, pendaftaran ataupun penegakan HKI harus dilakukan secara terpisah di masing-masing yurisdiksi bersangkutan. HKI yang dilindungi di Indonesia adalah HKI yang sudah didaftarkan di Indonesia

 SUBJEK HAK CIPTA

PENCIPTA

           seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut diatas.

          OBJEK HAK CIPTA
         
        CIPTAAN  

           yaitu hasil setiap karya Pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

UNDANG UNDANG YANG MENGANDUNG HAK CIPTA

Ø  UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Ø  UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
Ø  UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
Ø  UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)

PENGERTIAN PATEN

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001:

           - Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).

  -- Hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Undang-undang Paten).

  - Paten diberikan dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri. Di samping paten, dikenal pula paten sederhana (utility models) yang hampir sama dengan paten, tetapi memiliki syarat-syarat perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten sederhana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).

 Paten hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuanadalah kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :

a.       proses;
b.      hasil produksi;
c.       penyempurnaan dan pengembangan proses;
d.      penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi;

UNDANG UNDANG YANG MENGATUR TENTANG PATEN

·   UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
·   UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
·    UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)

PENGERTIAN DARI MEREK

 ·          Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 :

            Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1 Ayat 1)

·     Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa) tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen.

·           Isilah istilah merek
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

            Merek jasa yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
            Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
        
            Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.

UNDANG UNDANG YANG MENGATUR TENTANG MEREK

-          UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
-          UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
-          UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)

PENGERTIAN DESAIN INDUSTRI

            (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri) :
            Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1)

PENGERTIAN DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

            (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu) :                   Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik.(Pasal 1 Ayat 1)

            Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu. (Pasal 1 Ayat 2)

PENGERTIAN RAHASIA DAGANG

            (Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang) :

             Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.

PENGERTIAN INDIKASI GEOGRAFI

(Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek) :
              Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.(Pasal 56 Ayat 1)

SUMBER SUMBER
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=haki&source=web&cd=8&ved=0CGYQFjAH&url=http%3A%2F%2Fid.wikipedia.org%2Fwiki%2FKekayaan_intelektual&ei=vn6BT6P6K8forAeF3vXhBQ&usg=AFQjCNGZRhXt2__2VzEvCKB8T9C1Neh8MA&cad=rja

 SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

Sistematika hukum di Indonesia ada dua pendapat, yaitu :

a. Dari pemberlaku undang-undang
Buku I : Berisi mengenai orang
Buku II : Berisi tentanng hal benda
Buku III : Berisi tentang hal perikatan
Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan kadaluarsa

b. Menurut ilmu hukum / doktrin dibagi menjadi 4 bagian yaitu :

I. Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subjek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk bertindak sendiri.

II. Hukum kekeluargaan
Mengatur perihal hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungna antara orang tua dengan anak, perwalian dan lain-lain.

III. Hukum kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat diukur dengan dengan uang, hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan yang antara lain :
- hak seseorang pengarang atau karangannya
- hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak.

IV. Hukum warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia. Disamping itu, hukum warisan juga mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.

Pengertian Ekonomi & Hukum Ekonomi
A. Pengertian Hukum
Banyak tokoh yang mempunyai pendapat masing-masing tentang hukum. Beberapa diantaranya:

a. Aristetoles
Hukum adalah dimana masyarakat menaati dan menerapkannya dalam anggotanya sendiri

b. Grotus
Hukum adalah salah satu aturan dari tindakan moral yang mewajibkan pada suatu yang benar

c. Wiryono Kusumo
Hukum adalah keseluruhan peraturan yang baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakatdan terhadap pelanggaranya akan dikenakan sanksi.

Hukum terdiri atas beberapa unsure :
1. peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. peraturan itu bersifat mengikat dan memaksa.
3. peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi
4. pelanggarannya terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi.

B. Pengertian Ekonomi

Ekonomi bersal dari kata yunani (oikos) yang berarti keluarga, rumah tangga dan (nomos) berarti peraturan, aturan, hukum.
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran.
D.pengertian Hukum Ekonomi

Hukum ekonomi adalah suatu huungan sebab akibat5 atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.

Menurut Sunaryati Hartono, hukum ekonomi adalah penjabaran hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi social, sehingga hukum ekonomi tersebut mempunyai 2 aspek yaitu :

a. Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi
b. Aspek engaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara serta merata diantara seluruh lapisan masyarakat.

Hukum ekonomi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

a. hukum ekonomi pembangunan
b. Hukum ekonomi social

Hukum di Indonesia menganut asas sebagai berikut :

a. asas keimanan
b. asas manfaat
c. asas demokrasi
d. asas adil dan merata
e. asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan
f. asas hukum
g. asas kemandirian
h. asas keuangan
i. asas ilmu pengetahuan
j. asas kebersamaan, kekeluargaan, keseimbangan dalam kemakmuran rakyat
k. asas pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
l. asas kemandirian yang berwawasan kenegaraan

http://echiicung13.blogspot.com/2011/02/pengertian-ekonomi-hukum-ekonomi.html
Hukum Perjanjian
a. Istilah dan Pengertian Kontrak

Istilah overeenkomst (belanda), contract dan agreement (Inggris), contract dan convention (Perancis) merupakan istilah yang dalam hukum kita kenal sebagai kontrak atau perjanjian.
Istilah kontrak dapat dijumpai didalam KUHP. Bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan dan peritangan, namun penertian dari istilah tersebut tidak diberikan, bahkan pernah pula dipergunakan perkataan persetujuan.

b. Jenis-jenis Kontrak

Menurut para ahli hukum ada berbagai jenis kontrak. Keanekaragaman tersebut dilihat dari sudut pandang atau dasar kajian yang berbeda-beda, misalnya dari segi sumber hukum, bentuk, nama, kewajiban dan hak, larangan yang terdapat didalamnya dan sebagainya.

1. Penggolongan kedalam kontrak timbal balik

perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak penyandang status sebagai berhak dan kewajiban secara timbal balik.

2. Perjanjian sepihak

adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi.

Perjanjian dibedakan pula :

a.perjanjian konsensual
b.perjanjian riil

3. Kontrak

a.kontrak bernama
b.kontrak tidak bernama
kontrak menurut bentuknya ada kontrak tertulis dan kontrak lisan.

c. Pelaksanaan Kontrak
Pengaturan pelaksanaan kontrak dalam kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan tentang akobat suatu perjanjian. Yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai pasal 1341.

d. Asas yang Mengikat dalam Pelaksanaan Kontrak

Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksaan kontrak ialah sebagai berikut :

1. segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang
2. hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjiakan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap

3. bila suatu hal tidak diatur oleh / dalam undang-undang dan belum jug dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, maka harus diciptakan penyelesaianya menurut / dengan berpedoman pada kepatutan.

Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung 2 fungsi, yaitu :

1. Fungsi melarang
2. Fungsi menambah

e. Pembatalan Perjanjian yang menimbulkan Kerugian
Ada 3 bentuk ingkar janji, yaitu :

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
2. Terlambat memenuhi prestasi
3. Memenuhi prestasi secara tidak sah

Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian tanpa berupa :

1. Pemenuhan perikatan
2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
3. Ganti rugi
4. Pembatalan persetujuan timbal balik
5. pembatalan dengan ganti rugi

f. Syarat-syarat sah perjanjian

Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP perdata, ada 4 syarat yang harus dipenuhi untuknya sahnya suatu perjanjian :

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. suatu hal tertentu
4. suatu sebab yang halal


HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
A. SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA YANG ADA DI INDONESIA

Sejarah membuktikan bahwa hukum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia tidak lepas dari sejarah hukum perdata eropa. Di eropa continental berlaku hukum perdata romawi, disamping adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan tertentu.

Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “ Code Civil de Francis” yang juga dapat disebut “Cod Napoleon”.

Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini digunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothis. Disamping itu juga dipergunakan hukum bumi putera lama, hukum jernoia dan hukum Cononiek. Code Napoleon ditetapkan sebagai sumber hukum di belanda setelah bebas dari penjajahan prancis.

Setelah beberapa tahun kemerdekaan, bangsa memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodivikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dn WVK (Wetboek Van Koopandle) ini adalah produk nasional-nederland yang isinya berasal dari Code Civil des Prancis dari Code de Commerce.

B. PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
PENGERTIAN HUKUM PERDATA

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.

Pengeertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan.

Selain ada hukum privat materil, ada juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.

KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA

Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya antara lain :

1. Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :

a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)

Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.

Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :

1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
2. Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4. Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.




KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
(Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)

BUKU KESATU
ORANG

BAB I
MENIKMATI DAN KEHILANGAN HAK KEWARGAAN
(Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)

Pasal 1
Menikmati hak-hak kewargaan tidak tergantung pada hak-hak kenegaraan.

Pasal 2
Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada.

Pasal 3
Tiada suatu hukuman pun yang mengakibatkan kematian perdata, atau hilangnya segala hak-hak kewargaan.

BAB II
AKTA-AKTA CATATAN SIPIL
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)

BAGIAN 1
Daftar Catatan Sipil Pada Umumnya

Pasal 4
Tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 10 Ketentuan-ketentuan Umum Perundang-undangan di Indonesia, maka bagi golongan Eropa di seluruh Indonesia ada daftar kelahiran, daftar lapor kawin, daftar izin kawin, daftar perkawinan dan perceraian, dan daftar kematian. Pegawai yang ditugaskan menyelenggarakan daftar-daftar tersebut, dinamakan Pegawai Catatan Sipil.

Pasal 5
Presiden, setelah mendengar Mahkamah Agung menentukan dengan peraturan tersendiri, tempat dan cara menyelenggarakan daftar-daftar tersebut, demikian pula cara menyusun akta-akta dan syarat-syarat yang harus diperhatikan. Dalam peraturan itu harus dicantumkan juga hukuman-hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran oleh Pegawai Catatan Sipil, sejauh hal itu belum atau tidak akan diatur dengan ketentuan undang-undang hukum pidana.

BAGIAN 2
Nama, Perubahan Nama, dan Perubahan Nama Depan

Pasal 5a
Anak sah, dan juga anak tidak sah namun yang diakui oleh bapaknya, memakai nama keturunan bapaknya.

Pasal 5b
Anak-anak tidak sah yang tidak diakui oleh bapaknya, memakai nama keturunan ibunya.

Pasal 6
Tak seorang pun diperbolehkan mengganti nama keturunannya, atau menambahkan nama lain pada namanya tanpa izin Presiden. Barang siapa nama tidak dikenal keturunan atau nama depannya, diperbolehkan mengambil suatu nama keturunan atau nama depan, asalkan dengan izin Presiden.

Pasal 7
Permohonan izin untuk itu tidak dapat dikabulkan sebelum habis jangka waktu empat bulan, terhitung mulai hari pemberitaan permohonan itu dalam Berita Negara.

Pasal 8
Selama jangka waktu tersebut dalam pasal yang lalu, pihak-pihak yang berkepentingan diperbolehkan mengemukakan kepada Presiden, dengan surat permohonan, dasar-dasar yang mereka anggap menjadi keberatan untuk menentang permohonan tersebut.

Pasal 9
Bila dalam hal yang dimaksud dalam alinea pertama Pasal 6 permohonan itu dikabulkan, maka surat penetapannya harus disampaikan kepada pegawai catatan sipil di tempat tinggal si pemohon, pegawai mana harus menuliskannya dalam buku daftar yang sedang berjalan, dan membuat catatan tentang hal itu pada margin akta kelahiran si pemohon.
Surat penetapan yang diberikan berkenaan dengan dikabulkannya permohonan yang diajukan menurut alinea kedua Pasal 6, dibukukan dalam daftar kelahiran yang sedang berjalan di tempat tinggal yang bersangkutan dan dalam ha! termaksud Pasal 43 alinea pertama Reglemen tentang Catatan Sipil untuk Golongan Eropa, dicatat pula pada margin akta kelahiran.
Jika suatu permohonan tidak dikabulkan seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, maka Presiden dapat memberikan suatu nama keturunan atau nama depan kepada yang berkepentingan. Surat penetapan mi harus dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal yang lalu.

Pasal 10
Diperolehnya suatu nama sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam keempat pasal yang lalu, sekali-kali tidak boleh diajukan sebagal bukti adanya hubungan sanak saudara.

Pasal 11
Tiada seorang pun diperbolehkan mengubah nama depan atau menambahkan nama depan pada namanya, tanpa izin Pengadilan Negeri tempat tinggalnya atas permohonan untuk itu, setelah mendengar jawaban Kejaksaan.

Pasal 12
Bila Pengadilan Negeri mengizinkan penggantian atau penambahan nama depan, maka surat penetapannya harus disampaikan kepada Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal si pemohon, dan pegawai itu harus membukukannya dalam daftar yang sedang berjalan, dan mencatatnya pula pada margin akta kelahiran.

BAGIAN 3
Pembetulan Akta Catatan Sipil dan Penambahannya
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)

Pasal 13
Bila daftar tidak pernah ada, atau telah hilang dipalsui, diubah, robek, dimusnahkan, digelapkan atau dirusak, bila ada akta yang tidak terdapat dalam daftar itu atau bila dalam akta yang dibukukan terdapat kesesatan, kekeliruan atau kesalahan lain maka hal-hal itu dapat menjadi dasar untuk mengadakan penambahan atau perbaikan dalam daftar itu.

Pasal 14
Permohonan untuk itu hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri, yang di daerah hukumnya daftar-daftar itu diselenggarakan atau seharusnya diselenggarakan dan untuk itu Pengadilan Negeri akan mengambil keputusan setelah mendengar kejaksaan dan pihak-pihak yang berkepentingan bila ada cukup alasan dan dengan tidak mengurangi kesempatan banding.

Pasal 15
Keputusan ini hanya berlaku antara pihak-pihak yang telah memohon atau yang pernah dipanggil.

Pasal 16
Semua keputusan tentang pembetulan atau penambahan pada akta, yang telah memperoleh kekuatan tetap, harus dibuktikan oleh Pegawai Catatan Sipil dalam daftar-daftar yang sedang berjalan segera setelah diterbitkan dan bila ada perbaikan hal itu harus diberitakan pada margin akta yang diperbaiki, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Reglemen tentang Catatan Sipil.

BAB III
TEMPAT TINGGAL ATAU DOMISILI
(Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)

Pasal 17
Setiap orang dianggap bertempat tinggal di tempat yang dijadikan pusat kediamannya. Bila tidak ada tempat kediaman yang demikian, maka tempat kediaman yang sesungguhnya dianggap sebagai tempat tinggalnya.

Pasal 18
Perubahan tempat tinggal terjadi dengan pindah rumah secara nyata ke tempat lain disertai niat untuk menempatkan pusat kediamannya di sana.


Pasal 19
Niat itu dibuktikan dengan menyampaikan pernyataan kepada Kepala Pemerintahan, baik di tempat yang ditinggalkan, maupun di tempat tujuan pindah rumah kediaman. Bila tidak ada pernyataan, maka bukti tentang adanya niat itu harus disimpulkan dari keadaan-keadaannya.

Pasal 20
Mereka yang ditugaskan untuk menjalankan dinas umum, dianggap bertempat tinggal di tempat mereka melaksanakan dinas.

Pasal 21
Seorang perempuan yang telah kawin dan tidak pisah meja dan ranjang, tidak mempunyai tempat tinggal lain daripada tempat tinggal suaminya; anak-anak di bawah umur mengikuti tempat tinggal salah satu dan kedua orang tua mereka yang melakukan kekuasaan orang tua atas mereka, atau tempat tinggal wali mereka; orang-orang dewasa yang berada di bawah pengampuan mengikuti tempat tinggal pengampuan mereka.

Pasal 22
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal yang lalu, buruh mempunyai tempat tinggal di rumah majikan mereka bila mereka tinggal serumah dengannya.

Pasal 23
Yang dianggap sebagai rumah kematian seseorang yang meninggal dunia adalah rumah tempat tinggalnya yang terakhir.

Pasal 24
Dalam suatu akta dan terhadap suatu soal tertentu, kedua pihak atau salah satu pihak bebas untuk memilih tempat tinggal yang lain daripada tempat tinggal yang sebenarnya. Pemilihan itu dapat dilakukan secara mutlak, bahkan sampai meliputi pelaksanaan putusan Hakim, atau dapat dibatasi sedemikian rupa sebagaimana dikehendaki oleh kedua pihak atau salah satu pihak. Dalam hal ini surat-surat juru sita, gugatan-gugatan atau tuntutan-tuntutan yang tercantum atau termaksud dalam akta itu boleh dilakukan di tempat tinggal yang dipilih dan di muka Hakim tempat tinggal itu.

Pasal 25
Bila hal sebaliknya tidak disepakati, masing-masing pihak boleh mengubah tempat tinggal yang dipilih untuk dirinya, asalkan tempat tinggal yang baru tidak lebih dan sepuluh pal jauhnya dari tempat tinggal yang lama dan perubahan itu diberitahukan kepada pihak yang lain / pihak lawan.

BAB IV
PERKAWINAN
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)

Ketentuan Umum

Pasal 26
Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.

BAGIAN 1
Syarat-syarat dan Segala Sesuatu yang Harus dipenuhi untuk Dapat Melakukan Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing, Tetapi Berlaku bagi Golongan Tionghoa)

Pasal 27
Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.

Pasal 28
Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dan calon suami dan calon istri.

Pasal 29
Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, Presiden dapat menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi.

Pasal 30
Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah atau tidak sah.

Pasal 31
Juga dilarang perkawinan:
1.         antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;

1.         antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.

Pasal 32
Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zina, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinanya itu.

Pasal 33
Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan Pasal 199 nomor 3° atau 4°, tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar Catatan Sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.

Pasal 34
Seorang perempuan tidak diperbolehkan melakukan perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang terakhir.

Pasal 35
Untuk melaksanakan perkawinan, anak sah di bawah umur memerlukan izin kedua orang tuanya. Akan tetapi bila hanya salah seorang dan mereka memberi izin dan yang lainnya telah dipecat dan kekuasaan orang tua atau perwalian atas anak itu, maka Pengadilan Negeri di daerah tempat tinggal anak itu, atas permohonannya, berwenang memberi izin melakukan perkawinan itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya menjadi syarat beserta keluarga sedarah atau keluarga-keluarga semenda. Bila salah satu orang tua telah meninggal atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dan orang tua yang lain.

Pasal 36
Selain izin yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang belum dewasa memerlukan juga izin dan wali mereka, bila yang melakukan perwalian adalah orang lain daripada bapak atau ibu mereka; bila izin itu diperbolehkan untuk kawin dengan wali itu atau dengan salah satu dan keluarga sedarahnya dalam garis lurus, diperlukan izin dan wali pengawas.
Bila wali atau wali pengawas atau bapak atau ibu yang telah dipecat dan kekuasaan orang tua atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka berlakulah alinea kedua pasal yang lalu, asalkan orang tua yang tidak dipecat dan kekuasaan orang tua atau perwaliannya atas anaknya telah memberikan izin itu.

Pasal 37
Bila bapak atau ibu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, maka mereka masing-masing harus digantikan oleh orang tua mereka, sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan yang sama.
Bila orang lain daripada orang-orang yang disebut di atas melakukan perwalian atas anak-anak di bawah umur itu, maka dalam hal seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, si anak memerlukan lagi izin dari wali atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau wali pengawas, sesuai dengan perbedaan kedudukan yang dibuat dalam pasal yang lalu. Alinea kedua Pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea satu atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau bila salah satu atau lebih tidak menyatakan pendiriannya.

Pasal 38
Bila bapak dan ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila mereka semua berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, anak sah yang masih di bawah umur tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali dan wali pengawasnya.
Bila baik wali maupun wali pengawas, atau salah seorang dari mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan pendirian, maka Pengadilan Negeri di daerah tempat tinggal anak yang masih di bawah umur, atas permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali, wali pengawas dan keluarga sedarah atau keluarga semenda.

Pasal 39
Anak luar kawin yang diakui sah, selama masih di bawah umur, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin bapak dan ibu yang mengakuinya, sejauh kedua-duanya atau salah seorang masih hidup dan tidak berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka.
Bila semasa hidup bapak atau ibu yang mengakuinya orang lain yang melakukan perwalian atas anak itu, maka harus pula diperoleh izin dari wali itu atau dan wali pengawas bila izin itu diperlukan untuk perkawinan dengan wali itu sendiri atau dengan salah seorang dan keluarga sedarah dalam garis lurus.
Bila terjadi perselisihan pendapat antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea pertama dan kedua, dan salah seorang atau lebih menolak memberi izin itu, maka Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang di bawah umur itu, atas permohonan si anak, berkuasa memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya diperlukan. Bila baik bapak ataupun ibu yang mengakui anak di bawah umur itu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, diperlukan izin dari wali dan wali pengawas.
Bila kedua-duanya atau salah seorang menolak untuk memberi izin, atau tidak menyatakan pendirian, maka berlaku Pasal 38 alinea kedua, kecuali apa yang ditentukan di situ mengenai keluarga sedarah atau keluarga semenda.

Pasal 40
Anak tidak sah yang tidak diakui, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali atau wali pengawas, selama ia masih di bawah umur. Bila kedua-keduanya, atau salah seorang, menolak untuk memberikan izin atau untuk menyatakan pendirian, Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang masih di bawah umur itu, atas permohonannya, berkuasa memberikan izin untuk itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali atau wali pengawas si anak.

Pasal 41
Penetapan-penetapan Pengadilan Negeri dalam hal-hal yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, diberikan tanpa bentuk hukum acara. Penetapan-penetapan itu, baik yang mengabulkan permohonan izin, maupun yang menolak, tidak dapat dimohonkan banding.
Mendengar mereka yang izinnya diperlukan seperti yang termaksud dalam enam pasal yang lalu. bila mereka bertempat tinggal di luar kabupaten tempat kedudukan pengadilan negeri itu, boleh dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggal atau tempat kedudukan mereka, Pengadilan Negeri mi akan menyampaikan berita acaranya kepada Pengadilan Negeri yang disebut pertama. Pemanggilan mereka yang izinnya diperlukan. dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 333 tentang keluarga sedarah dan keluarga semenda. Mereka yang disebut pertama, ataupun mereka yang disebut terakhir, boleh mewakilkan diri dengan cara seperti yang tercantum dalam Pasal 334.

Pasal 42
Anak sah yang telah dewasa, tetapi belum genap tiga puluh tahun, juga wajib untuk memohon izin bapak dan ibunya untuk melakukan perkawinan. Bila ia tidak memperoleh izin itu, Ia boleh memohon perantaraan Pengadilan Negeri tempat tinggalnya dan dalam hal itu harus diindahkan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.

Pasal 43
Dalam waktu tiga minggu, atau dalam jangka waktu yang lain jika dianggap perlu oleh Pengadilan Negeri, terhitung dari hari pengajuan surat permohonan itu, Pengadilan harus berusaha menghadapkan bapak dan ibu, beserta anak itu, agar dalam suatu sidang tertutup kepada mereka diberi penjelasan-penjelasan yang dianggap berguna oleh pengadilan demi kepentingan masing-masing. Mengenai pertemuan pihak-pihak tersebut harus dibuat berita acara tanpa mencantumkan alasan-alasan yang mereka kemukakan.

Pasal 44
Bila baik pihaknya maupun ibunya tidak hadir, perkawinan dapat dilangsungkan dengan penunjukan akta yang memperlihatkan ketidakhadiran itu.

Pasal 45
Bila anak itu tidak hadir, maka perkawinannya tidak dapat dilaksanakan, kecuali sesudah permohonan diajukan sekali lagi untuk perantaraan pengadilan.

Pasal 46
Bila, sesudah anak itu dan kedua orang tuanya atau salah satu orang tua hadir, kedua orang tua itu atau salah seorang tetap menolak, maka perkawinan tidak boleh dilaksanakan bila belum lampau tiga bulan terhitung dari hari pertemuan itu.

Pasal 47
Ketentuan-ketentuan dalam lima pasal terakhir ini juga berlaku untuk anak tak sah terhadap bapak dan ibu yang mengakuinya.

Pasal 48
Sekiranya kedua orang tua atau salah satu tidak berada di Indonesia, Presiden berkuasa memberi dispensasi dan kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 47

Pasal 49
Dalam pengertian ketidakmungkinan bagi para orang tua atau para kakek nenek untuk memberi izin kepada anak di bawah umur untuk melakukan perkawinan, dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 35,37 dan 39, sekali-kali tidak termasuk ketidakhadiran terus-menerus atau sementara di Indonesia.

BAGIAN 2
Acara yang Harus Mendahului Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing. Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)

Pasal 50
Semua orang yang hendak melangsungkan perkawinan, harus memberitahukan hal itu kepada Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal salah satu pihak.

Pasal 51
Pemberitahuan ini harus dilakukan, baik secara langsung, maupun dengan surat yang dengan cukup jelas memperlihatkan niat kedua calon suami-istri, dan tentang pemberitahuan itu harus dibuat sebuah akta oleh Pegawai Catatan Sipil.

Pasal 52
Sebelum pelaksanaan perkawinan itu, Pegawai Catatan Sipil harus mengumumkan hal itu dan menempel surat pengumuman pada pintu utama gedung tempat penyimpanan daftar-daftar Catatan Sipil itu. Surat itu harus tetap tertempel selama sepuluh hari. Pengumuman itu tidak boleh dilangsungkan pada hari Minggu yang disamakan dengan hari Minggu dalam hal ini ialah hari Tahun Baru, hari Paskah kedua dan Pantekosta, hari Natal, hari Kenaikan Isa Almasih, dan hari Mi'raj Nabi Muhammad s. a. w.
Surat pengumuman ini harus memuat :
1.         nama, nama depan, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon suami istri, dan, bila mereka sebelumnya pernah kawin, nama suami atau istri mereka yang dulu.
2.         hari, tempat dan jam terjadinya pengumuman. Surat itu ditandatangani oleh Pegawai Catatan Sipil itu.

Pasal 53
Bila kedua calon suami isteri tidak bertempat tinggal dalam wilayah Catatan Sipil yang sama, maka pengumuman itu akan dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal masing-masing pihak.

Pasal 54
Bila calon suami isteri belum sampai enam bulan penuh bertempat tinggal dalam daerah suatu Catatan Sipil, pengumumannya harus juga dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal mereka yang terakhir. Bila ada alasan-alasan yang penting dan kewajiban membuat pengumuman tersebut di atas boleh diberikan dispensasi oleh Kepala Pemerintahan Daerah yang di daerahnya telah dilakukan pemberitahuan kawin.

Pasal 55
Dihapus dengan S. 916 - 338 jo. 1917- 18.

Pasal 56
Dihapus dengan S. 916 - 338 jo. 1917- 18.

Pasal 57
Bila perkawinan itu belum dilangsungkan dalam waktu satu tahun, terhitung dari waktu pengumuman, perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan, kecuali bila sebelumnya diadakan pengumuman lagi.

Pasal 58
Janji kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka Hakim berlangsungnya perkawinan, juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu, semua persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal.
Akan tetapi, jika pemberitahuan kawin ini telah diikuti oleh suatu pengumuman,, maka ha! itu dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga berdasarkan kerugian-kerugian yang nyata diderita oleh satu pihak atas barang-barangnya sebagai akibat dan penolakan pihak yang lain; dalam pada itu tak boleh diperhitungkan soal kehilangan keuntungan. Tuntutan ini lewat waktu dengan lampaunya waktu delapan belas bulan, terhitung dari pengumuman perkawinan itu.

BAGIAN 3
Pencegahan Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan Tionghoa)

Pasal 59
Hak untuk mencegah berlangsungnya perkawinan hanya ada pada orang-orang dari dalam hal-hal yang disebut dalam pasal-pasal berikut.

Pasal 60
Barang siapa masih terikat perkawinan dengan salah satu pihak, termasuk jüga anak-anak yang lahir dari perkawinan ini, berhak mencegah perkawinan baru yang dilaksanakan, tetapi hanya berdasarkan perkawinan yang masih ada.

Pasal 61
Bapak dan ibu dapat mencegah perkawinan dalam hal-hal:
1.         bila anak mereka yang masih di bawah umur, belum mendapat izin
2.         bila anak mereka, yang sudah dewasa tetapi belum genap tiga puluh. tahun, lalai meminta izin mereka, dan dalam hal permohonan izin itu ditolak, lalai untuk meminta perantaraan Pengadilan Negeri seperti yang diwajibkan menurut Pasal 42.
3.         bila salah satu pihak, yang karena cacat mental berada dalam pengampuan, atau dengan alasan yang sama telah dimohonkan pengampuan, tetapi atas permohonan itu belum diambil keputusan;
4.         bila salah satu pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk mengadakan perkawinan dengan ketentuan-ketentuan bagian pertama bab ini;
5.         bila pengumuman perkawinan yang menjadi syarat tidak diadakan;
6.         bila salah satu pihak, karena sifat pemboros ditaruh di bawah pengampuan, dan perkawinan yang hendak dilangsungkan tampaknya akan membawa ketidak bahagiaan bagi anak mereka.
Bila yang menjalankan perwalian atas anak itu orang lain daripada bapak atau ibunya, maka wali atau wali pengawasnya, bila yang disebut terakhir ini harus mengganti si wali, mempunyai hak yang sama dalam hal-hal seperti yang tercantum dalam nomor-nomor 1°, 3°, 4, 5 dan 6°.

Pasal 62
Dalam hal kedua orang tua tidak ada, maka kakek nenek dan wali atau wali pengawas, bila yang disebut terakhir ini harus mengganti si wali, berhak untuk mencegah perkawinan dalam hal-hal seperti yang tercantum dalam nomor 3, 4, 5 dan 6° pasal yang lalu.
Kakek nenek dan wali atau wali pengawas, bila yang disebut terakhir ini menggantikan si wali, berhak untuk mencegah perkawinan dalam hal-hal yang tercantum pada nomor 1°, jika izin mereka menjadi syarat.

Pasal 63
Dalam hal kakek nenek tidak ada, maka saudara laki-laki dan perempuan, paman dan bibi, demikian pula wali dan wali pengawas, pengampu dan pengampu pengawas, berhak mencegah perkawinan:
1.         bila ketentuan-ketentuan Pasal 38 dan Pasal 40 mengenai memperoleh izin kawin tidak diindahkan;
2.         karena alasan-alasan seperti yang tercantum dalam nomor 3°,4°,5°, dan 6° Pasal 61.

Pasal 64
Suami yang perkawinannya telah bubar karena perceraian, boleh mencegah perkawinan bekas isterinya, bila dia hendak kawin lagi sebelum lampau tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang dulu.

Pasal 65
Kejaksaan wajib mencegah perkawinan yang hendak dilangsungkan dalam hal-hal yang tercantum dalam Pasal 27 sampai dengan 34.

Pasal 66
Pencegahan perkawinan ditangani oleh Pengadilan Negeri, yang di daerah hukumnya terletak tempat kedudukan Pegawai Catatan Sipil yang harus melangsungkan perkawinan itu.

Pasal 67
Dalam akta pencegahan harus disebutkan segala alasan yang dijadikan dasar pencegahan itu, dan tidak diperkenakan mengajukan alasan baru, sejauh hal itu tidak timbul setelah pencegahan.

Pasal 68
Dihapus dengan S. 1937-595.

Pasal 69
Bila pencegahan itu ditolak, para penentang boleh dikenakan kewajiban mengganti biaya, kerugian dan bunga, kecuali jika penentang itu adalah keluarga sedarah dalam garis ke atas dan garis ke bawah atau Kejaksaan.

Pasal 70
Bila terjadi pencegahan perkawinan. Pegawai Catatan Sipil tidak diperkenankan untuk melaksanakan perkawinan itu, kecuali setelah kepadanya disampaikan suatu putusan pengadilan yang telah mendapat kekuatan hukum tetapi atau suatu akta otentik dengan mana pencegahan itu ditiadakan pelanggaran atas ketentuan ini kena ancaman hukuman penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Bila perkawinan itu dilaksanakan sebelum pencegahan itu ditiadakan, maka perkara mengenai pencegahan itu boleh dilanjutkan, dan perkawinan boleh dinyatakan batal sekiranya gugatan penentang dikabulkan.

BAGIAN 4
Pelaksanaan Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa, Kecuali KUHP. 71-6°, 74, 75)

Pasal 71
Sebelum melangsungkan perkawinan, Pegawai Catatan Sipil harus meminta agar kepadanya diperlihatkan :
1.         akta kelahiran masing-masing calon suami istri
2.         akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil dan didaftarkan dalam daftar izin kawin, atau akta otentik lain yang berisi izin bapak, ibu, kakek, nenek, wali atau wali pengawas, ataupun izin yang diperoleh dan Hakim, dalam hal-hal di mana izin itu diperlukan; Izin itu juga dapat diberikan pada akta perkawinan sendiri;
3.         dalam hal perkawinan kedua atau perkawinan berikutnya akta perkawinan suami istri yang dulu, atau akta perceraian, atau salinan surat izin dari Hakim yang diberikan dalam hal pihak lain dan suami atau istri tidak ada;}
4.         akta yang menunjukkan adanya perantaraan Pengadilan Negeri;
5.         akta kematian dan mereka yang seharusnya memberikan izin kawin;
6.         bukti, bahwa pengumuman perkawinan itu telah berlangsung tanpa pencegahan di tempat yang disyaratkan menurut Pasal 52 dan berikutnya, ataupun bukti bahwa pencegahan yang dilakukan telah dihentikan;
7.         dispensasi yang telah diberikan;
8.         izin untuk para perwira dan tentara bawahan yang menjadi syarat untuk melakukan perkawinan.

Pasal 72
Jika di antara calon suami istri yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahiran seperti yang disyaratkan pada nomor 1° pasal yang lalu, maka hal ini dapat diganti dengan akta tanda kenal lahir yang dikeluarkan oleh Kepala Pemerintahan Daerah tempat lahir atau tempat tinggal calon suami atau istri atas keterangan dua saksi laki-laki atau perempuan, keluarga atau bukan keluarga. Keterangan ini harus menyebutkan tempat dan waktu kelahirannya secermat mungkin, serta sebab-sebab yang menghalanginya untuk menunjukkan akta kelahiran.
Tidak adanya akta kelahiran dapat juga diganti dengan keterangan semacam itu di bawah sumpah yang diberikan oleh saksi-saksi yang harus hadir pada pelaksanaan perkawinan itu, ataupun dengan keterangan yang diberikan di bawah sumpah di hadapan pegawai Catatan Sipil oleh calon suami atau istri, dan sumpah itu berisi, bahwa dia tidak dapat memperoleh akta kelahiran atau akta tanda kenal lahir. Dalam akta perkawinannya, keterangan yang satu dan yang lainnya harus dicantumkan.

Pasal 73
Bila para pihak tidak dapat memperlihatkan akta kematian yang disebut dalam Pasal 71 nomor 5°, maka kekurangan itu dapat diperbaiki dengan cara yang sama seperti yang tercantum dalam pasal yang lalu.

Pasal 74
Bila Pegawai Catatan Sipil menolak untuk melangsungkan perkawinan atas dasar tidak lengkapnya surat-surat dan keterangan-keterangan yang diharuskan oleh pasal-pasal yang lalu, maka pihak-pihak yang berkepentingan berhak mengajukan surat permohonan kepada Pengadilan Negeri; setelah mendengar Kejaksaan,bila ada alasan untuk itu,dan mendengar Pegawai Catatan Sipil,Pengadilan negeri itu secara singkat dan tanpa kemungkinan untuk banding,akan mengambil keputusan tentang lengkap atau tidak lengkapnya surat-surat.

Pasal 75
Perkawinan tidak boleh dilangsungkan, sebelum hari kesepuluh setelah hari pengumuman, di mana hari itu sendiri tidak termasuk. Jika ada alasan penting Kepala Pemerintahan Daerah, yang di daerahnya telah dilakukan pemberitahuan kawin, berkuasa memberikan dispensasi dan pengumuman dan waktu tunggu yang diharuskan. Jika dispensasi telah diberikan, berita tentang hal itu harus ditempel secepat-cepatnya pada pintu utama gedung yang dimaksud pada alinea pertama Pasal 52. Dalam berita tempel itu harus disebutkan kapan perkawinan itu akan atau dilaksanakan.

Pasal 76
Perkawinan harus dilaksanakan di muka umum, dalam gedung tempat membuat akta Catatan Sipil, di hadapan Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah satu pihak dan dihadapan dua orang saksi, baik keluarga maupun bukan keluarga, yang telah mencapai umur dua puluh satu tahun dan berdiam di Indonesia.

Pasal 77
Bila salah satu pihak karena halangan yang terbukti cukup sah, tidak dapat pergi ke gedung tersebut, perkawinan boleh dilangsungkan dalam sebuah rumah khusus di daerah Pegawai Catatan Sipil yang bersangkutan. Jika terjadi hal yang demikian, maka dalam akta perkawinan harus dicantumkan sebab-sebab terjadinya. Penilaian tentang sah tidaknya halangan tersebut dalam pasal ini, diserahkan kepada Pegawai Catatan Sipil itu.

Pasal 78
Kedua calon suami istri harus datang secara pribadi menghadap Pegawai Catatan Sipil itu.

Pasal 79
Jika ada alasan-alasan penting. Presiden berkuasa untuk mengizinkan pihak-pihak yang bersangkutan melangsungkan perkawinan mereka dengan menggunakan seorang wakil yang khusus diberi kuasa penuh dengan akta otentik. Bila pemberi kuasa itu, sebelum perkawinan dilaksanakan, telah kawin dengan orang lain secara sah, maka perkawinan yang telah berlangsung dengan wakil khusus dianggap tidak pernah terjadi.

Pasal 80
Kedua calon suami istri, di hadapan Pegawai Catatan Sipil dan dengan kehadiran para saksi, harus menerangkan bahwa yang satu menerima yang lain sebagai suami atau istrinya, dan bahwa dengan ketulusan hati mereka akan memenuhi kewajiban mereka, yang oleh undang-undang ditugaskan kepada mereka sebagai suami istri.

Pasal 81
Tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa perkawinan di hadapan Pegawai Catatan Sipil telah berlangsung.

Pasal 82
Jika terjadi pelanggaran oleh Pegawai Catatan Sipil atas ketentuan-ketentuan dalam bab ini, maka selama hal itu tidak diatur dalam aturan undang-undang hukum pidana, para Pegawai itu boleh dihukum oleh Pengadilan Negeri dengan denda uang yang tidak melebihi seratus rupiah, tanpa mengurangi hak pihak-pihak yang berkepentingan untuk menuntut ganti rugi, bila ada alasan untuk itu.

BAGIAN 5
Perkawinan-perkawinan yang Dilaksanakan di Luar Negeri
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing BukanTionghoa, tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)

Pasal 83
Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, baik antara sesama warga negara Indonesia, maupun antara warga negara Indonesia dengan warga negara lain, adalah sah apabila perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang biasa di negara tempat berlangsungnya perkawinan itu, dan suami istri yang warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam bagian 1 Bab ini.

Pasal 84
Dalam waktu satu tahun setelah kembalinya suami istri ke wilayah Indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar negeri harus didaftarkan dalam daftar umum perkawinan di tempat tinggal mereka.

BAGIAN 6
Batalnya Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Golongan Tionghoa, tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 85
Batalnya suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh Hakim.

Pasal 86
Batalnya suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan Pasal 27, dapat dituntut oleh orang yang karena perkawinan sebelumnya terikat dengan salah seorang dan suami istri itu, oleh suami istri itu sendiri, oleh keluarga sedarah dalam garis ke atas, oleh siapa pun yang mempunyai kepentingan dengan batalnya perkawinan itu, dan, oleh Kejaksaan. Bila batalnya perkawinan yang terdahulu dipertanyakan, maka terlebih dahulu harus diputuskan ada tidaknya perkawinan terdahulu itu.

Pasal 87
Keabsahan suatu perkawinan yang berlangsung tanpa persetujuan bekas kedua suami istri atau salah seorang dari mereka, hanya dapat dibantah oleh suami istri itu, atau oleh salah seorang dari mereka yang memberikan persetujuan secara tidak bebas.
Bila telah terjadi kekhilafan tentang diri orang yang dikawini, keabsahan perkawinan itu hanya dapat dibantah oleh suami atau istri yang telah khilaf itu. Dalam hal-hal tersebut dalam pasal ini, tuntutan akan pembatalan suatu perkawinan tidak boleh diterima, bila telah terjadi tinggal serumah terus-menerus selama tiga bulan sejak si suami atau istri mendapat kebebasan, atau sejak mengetahui kebebasannya.

Pasal 88
Bila perkawinan dilakukan oleh orang yang karena cacat mental ditaruh di bawah pengampuan, keabsahan perkawinan itu hanya boleh dibantah oleh bapaknya, ibunya dan keluarga sedarah dalam garis ke atas, saudara laki-laki dan perempuan, paman dan bibinya, demikian pula oleh pengampuannya, dan akhirnya oleh Kejaksaan.
Setelah pengampuan itu dicabut, pembatalan perkawinan hanya boleh dituntut oleh suami atau istri yang telah ditaruh di bawah pengampuan itu, tetapi tuntutan ini pun tidak dapat diterima bila kedua suami istri telah tinggal bersama selama enam bulan, terhitung dari pencabutan pengampuan itu.

Pasal 89
Bila perkawinan dilakukan oleh orang yang belum mencapai umur yang disyaratkan dalam Pasal 29, maka pembatalan perkawinan itu boleh dituntut, baik oleh orang yang belum cukup umur itu, maupun oleh Kejaksaan. Namun keabsahan perkawinan itu tidak dapat dibantah:
1.         bila pada hari tuntutan akan pembatalan itu diajukan, salah seorang atau kedua suami istri telah mencapai umur yang disyaratkan;
2.         bila istri, kendati belum mencapai umur yang disyaratkan. telah hamil sebelum tuntutan diajukan.

Pasal 90
Semua perkawinan yang dilakukan dengan melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 30, 31, 32 dan 33, boleh dimintakan pembatalan, baik oleh suami istri itu sendiri, maupun oleh orang tua mereka atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, atau oleh siapa pun yang mempunyai kepentingan dengan pembatalan itu, ataupun oleh Kejaksaan.

Pasal 91
Bila suatu perkawinan dilaksanakan tanpa izin bapak, ibu, kakek, nenek, wali atau wali pengawas, maka dalam hal izin harus diperoleh ataupun wali harus didengar menurut pasal-pasal 36, 37, 38, 39 dan 40, pembatalan perkawinan hanya boleh dituntut oleh orang yang harus diperoleh izinnya atau harus didengar menurut undang-undang.
Para keluarga sedarah yang izinnya disyaratkan tidak lagi boleh menuntut pembatalan perkawinan, bila secara diam-diam, atau perkawinan itu telah berlangsung enam bulan tanpa bantahan apa pun dan mereka terhitung sejak saat mereka mengetahui perkawinan itu.
Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, pengetahuan tentang berlangsungnya perkawinan itu tidak boleh dianggap ada, selama suami istri itu tetap Ialai untuk mendaftarkan akta pelaksanaan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 84.

Pasal 92
Perkawinan yang dilangsungkan tidak dihadapan Pegawai Catatan Sipil yang berwenang dan tanpa kehadiran sejumlah saksi yang disyaratkan, dapat dimintakan pembatalannya oleh suami istri itu, oleh bapak, ibu, dan keluarga sedarah lainnya dalam garis ke atas, dan juga oleh wali, wali pengawas, dan oleh siapa pun yang berkepentingan dalam hal itu, dan akhirnya oleh Kejaksaan.
Jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 76, sejauh mengenai keadaan saksi-saksi, maka perkawinan itu tidak mutlak harus batal; Hakimlah yang akan mengambil keputusan menurut keadaan.
Bila tampak jelas adanya hubungan selaku suami istri, dan dapat pula diperlihatkan akta perkawinan yang dibuat di hadapan Pegawai Catatan Sipil, maka suami istri itu tidak dapat diterima untuk minta pembatalan perkawinan mereka menurut pasal ini.

Pasal 93
Dalam segala hal di mana sesuai dengan pasal-pasal 85, 90 dan 92 suatu tuntutan hukum pernyataan batal dapat dimulai oleh orang yang mempunyai kepentingan dalam ha! itu, yang demikian tidak dapat dilakukan oleh kerabat sedarah dalam garis ke samping oleh anak dari perkawinan lain, atau oleh orang-orang luar, selama suami istri itu kedua-duanya masih hidup, dan tuntutan boleh diajukan hanya bila mereka dalam hal itu telah memperoleh atau akan segera memperoleh kepentingan.

Pasal 94
Setelah perkawinan dibubarkan, Kejaksaan tidak boleh menuntut pembatalannya.

Pasal 95
Suatu perkawinan, walaupun telah dinyatakan batal, mempunyai segala akibat perdatanya, baik terhadap suami isteri, maupun terhadap anak-anak mereka, bila perkawinan itu dilangsungkan dengan itikad baik oleh kedua suami isteri itu.

Pasal 96
Bila itikad baik hanya ada pada salah seorang dan suami isteri, maka perkawinan itu hanya mempunyai akibat-akibat perdata yang menguntungkan pihak yang beritikad baik itu dan bagi anak-anak yang lahir dan perkawinan itu. Suami atau isteri yang beritikad buruk boleh dijatuhi hukuman mengganti biaya, kerugian dan bunga terhadap pihak yang lain.

Pasal 97
Dalam ha! tersebut dalam dua pasal yang lalu, perkawinan itu berhenti mempunyai akibat-akibat perdata, terhitung sejak hari perkawinan itu dinyatakan batal.


Pasal 98
Batalnya suatu perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga, bila dia telah berbuat dengan itikad baik dengan suami istri itu.

Pasal 99
Tiada suatu perkawinan pun yang harus batal bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pasal-pasal 34,42,46,52, dan 75, atau, kecuali apa yang diatur dalam Pasal 77, bila perkawinan itu dilangsungkan tidak di muka umum dalam gedung tempat akta-akta Catatan Sipil dibuat. Dalam hal-hal itu berlakulah ketentuan Pasal 82 bagi Pegawai-pegawai Catatan Sipil.

Pasal 99a
Pembatalan suatu perkawinan oleh Pengadilan atas tuntutan Kejaksaan di Pengadilan tersebut harus didaftar dalam daftar perkawinan yang sedang berjalan oleh Pegawai Catatan Sipil tempat perkawinan itu dilangsungkan, dengan cara yang sesuai dengan alinea pertama Pasal 64 Reglemen tentang Catatan Sipil untuk golongan Eropa atau alinea pertama Pasal 72 Reglemen yang sama untuk golongan Tionghoa. Tentang pendaftaran itu harus dibuat catatan pada margin akta perkawinan.
Bila perkawinan itu berlangsung di luar Indonesia, maka pendaftarannya dilakukan di Jakarta.

BAGIAN 7
Bukti Adanya Suatu Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)

Pasal 100
Adanya suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain daripada dengan akta pelaksanaan perkawinan itu yang didaftarkan dalam daftar-daftar Catatan Sipil, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal berikut.

Pasal 101
Bila ternyata bahwa daftar-daftar itu tidak pernah ada, atau telah hilang, atau akta perkawinan itu tidak terdapat di dalamnya, maka penilaian tentang cukup tidaknya bukti-bukti tentang adanya perkawinan diserahkan kepada Hakim, asalkan kelihatan jelas adanya hubungan selaku suami isteri.

Pasal 102
Keabsahan seorang anak yang tidak dapat memperlihatkan akta perkawinan orang tuanya yang sudah meninggal, tidak dapat dibantah, bila dia telah memperlihatkan kedudukannya sebagai anak sesuai dengan akta kelahirannya, dan orang tuanya telah hidup secara jelas sebagai suami-isteri.

BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)

Pasal 103
Suami isteri wajib setia satu sama lain, saling menolong dan saling membantu.

Pasal 104
Suami isteri, dengan hanya melakukan perkawinan, telah saling mengikatkan diri untuk memelihara dan mendidik anak mereka.

Pasal 105
Setiap suami adalah menjadi kepala persatuan perkawinan. Sebagai kepala, ia wajib memberi bantuan kepada isterinya atau tampil untuknya di muka Hakim, dengan mengingat pengecualian-pengecualian yang diatur di bawah ini. Dia harus mengurus harta kekayaan pribadi si isteri, kecuali bila disyaratkan yang sebaliknya. Dia harus mengurus harta kekayaan itu sebagai seorang kepala keluarga yang baik, dan karenanya bertanggung jawab atas segala kelalaian dalam pengurusan itu. Dia tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebankan harta kekayaan tak bergerak isterinya tanpa persetujuan si isteri.

Pasal 106
Setiap isteri harus patuh kepada suaminya. Dia wajib tinggal serumah dengan suaminya dan mengikutinya, di mana pun dianggapnya perlu untuk bertempat tinggal.

Pasal 107
Setiap suami wajib menerima isterinya di rumah yang ditempatinya. Dia wajib melindungi isterinya, dan memberinya apa saja yang perlu, sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya.

Pasal 108
Seorang isteri, sekalipun ia kawin di luar harta bersama, atau dengan harta benda terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan, menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan beban, tanpa bantuan suami dalam akta atau izin tertulis. Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada isterinya untuk membuat akta atau perjanjian tertentu, si isteri tidaklah berwenang untuk menerima pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari suami.

Pasal 109
Mengenai perbuatan atau perjanjian, yang dibuat oleh seorang isteri karena apa saja yang menyangkut perbelanjaan rumah tangga biasa dan sehari-hari, juga mengenai perjanjian perburuhan yang diadakan olehnya sebagai majikan untuk keperluan rumah tangga, undang-undang menganggap bahwa ia telah mendapat persetujuan dan suaminya.

Pasal 110
Isteri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta terpisah, atau meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas.

Pasal 111
Bantuan suami tidak diperlukan:
1.         bila si isteri dituntut dalam perkara pidana;
2.         dalam perkara perceraian, pisah meja dan ranjang, atau pemisahan harta.

Pasal 112
Bila suami menolak memberi kuasa kepada isterinya untuk membuat akta, atau menolak tampil di Pengadilan, maka si isteri boleh memohon kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggi mereka bersama supaya dikuasakan untuk itu.

Pasal 113
Seorang isteri yang atas usaha sendiri melakukan suatu pekerjaan dengan izin suaminya, secara tegas atau secara diam-diam, boleh mengadakan perjanjian apa pun yang berkenaan dengan usaha itu tanpa bantuan suaminya. Bila ia kawin dengan suaminya dengan penggabungan harta, maka si suami juga terikat pada perjanjian itu. Bila si suami menarik kembali izinnya, dia wajib mengumumkan penarikan kembali itu.

Pasal 114
Bila si suami, karena sedang tidak ada atau karena alasan-alasan lain, terhalang untuk membantu isterinya atau memberinya kuasa, atau bila ia mempunyai kepentingan yang berlawanan, maka Pengadilan Negeri di tempat tinggal suami isteri itu boleh memberikan wewenang kepada si isteri untuk tampil di muka Pengadilan, mengadakan perjanjian, melakukan pengurusan, dan membuat akta-akta lain.

Pasal 115
Pemberian kuasa umum, pun jika dicantumkan pada perjanjian perkawinan, berlaku tidak lebih daripada yang berkenaan dengan pengurusan harta kekayaan si isteri itu sendiri.

Pasal 116
Batalnya suatu perbuatan berdasarkan tidak adanya kuasa, hanya dapat dituntut oleh si isteri, suaminya atau oleh para ahli waris mereka.

Pasal 117
Bila seorang isteri, setelah pembubaran perkawinan melaksanakan perjanjian atau akta, seluruhnya atau sebagian, yang telah dia adakan tanpa kuasa yang disyaratkan, maka dia tidak berwenang untuk meminta pembatalan perjanjian atau akta itu.

Pasal 118
Isteri dapat membuat wasiat tanpa izin suami. 
SUMBER:
www.hukumonline.com